Senin, 20 Agustus 2012

Wayang Mengalir Sesuai Zaman

Tidak dapat dipungkiri cerita wayang, yang menggunakan cerita epos (wiracarita) Mahabarata dan Ramayana, telah hidup mapan di Indonessia semenjak Bangsa Hindu datang.
Olahan atau garap cerita Mahabarata dan Ramayana  di Indonesia mengalamai perkembangan berbeda dengan yang ada di tanah asalnya.   
Di India, cerita wayang berkembang melalui tradisi tulis, sebagai kitab suci agama Hindu, sebaliknya di Indonesia lebih cenderung lewat tradisi lisan. Di Indonesia banyak ditemukan episode cerita serta nama-nama tokoh wayang `baru' yang tidak terdapat di dalam epos asli, Mahabarata dan Ramayana India.   
Saat Islam masuk ke wilayah Jawa, terjadi penafsiran baru dalam susastra serta pentas wayang. Wayang, yang semula bernuansa Hindu, oleh para cendekiawan muslim-wajah, isi, alur lakon, pesan, serta misinya-telah dimodifikasi menjadi Islam Jawa. Artinya, geneologi, alur cerita, dan nama tokoh wayang berubah dan bertambah secara transisional cerdas, sesuai dengan aqidah Islam.   
"Wayang yang semula diekspresikan sebagai polytheisme berubah menjadi monotheisme. Dewa-dewa dalam wayang, sebelumnya sebagai penguasa tertinggi jagad gaib, dirubah disejajar dengan peran  manusia biasa dengan segala problimatiknya,"


Wayang terus mengalir sesuai perkembangan zaman. Pada masa kerajaan Jawa, wayang dikukuhkan sebagai sarana legitimasi kekuasaan raja.  Hanya terjadi di komunitas wayang Jawa, bahwa semua tokoh-tokoh wayang, secara geneologis merupakan keturunan para dewa, dan paling atas Adam.
Pelaku seni, Nanang Hape mengemukakan,  seni pewayangan merupakan sebuah bentuk komunikasi estetis antara seniman dan penghayat, kesetaraan kemampuan baik dalam berkarya bagi seniman maupun kemampuan mengapresiasi bagi penonton merupakan hal yang penting.         
"Kenyataan bahwa perubahan yang terjadi di kehidupan masyarakat tidak semata-mata dipengaruhi oleh kesenian membuat seniman sebagai pengkarya harus bersikap realistis sebagai sebuah konsekuensi menjadi bagian dari sebuah masyarakat yang tumbuh dan berkembang," tuturnya.
Kesenian bukan monopoli seniman profesional yang memang mengkaryakan hidupnya untuk seni, tapi juga menjadi milik penonton, milik masyarakat. Karena masyarakat mempunyai hak yang sama dengan seniman, proses kreatif seringkali terbentur pada pertentangan nilai yang tak jarang menimbulkan bukan saja perdebatan tapi bahkan permusuhan.
Secara garis besar bisa dikatakan ada dua kelompok besar pendukung kesenian, yang satu menempatkan diri untuk menjaga nilai-nilai lama dan kelompok yang lain memilih untuk melakukan pengembangan dan pembaharuan.
Masalah terbesar dari dikotomi ini umumnya berhubungan dengan ekonomi. Dalam kondisi kemakmuran yang belum merata, sebagian besar seniman terpaksa menempatkan karyanya di posisi tawar sebagai komoditas yang mau tidak mau harus bergantung pada kebutuhan pasar. Seniman butuh pendapatan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
"Mereka akan berusaha dengan bermacam-macam cara agar tetap eksis. Proses inilah yang kemudian menimbulkan banyak variasi sesuai dengan motif dan tujuan seniman dalam berkarya. Ada yang menempuh proses panjang dengan mempertimbangkan aspek etis - estetis, tapi banyak juga yang menempuh jalan pintas, sekedar laku dan karyanya kemudian bisa menjadi sumber pendapatan," tuturnya.
Nah, istilah "mutu" dan "laku" seringkali dipertentangkan. Kalangan konservatif sering mengeluh, kenapa kesenian yang punya "mutu" sering tidak "laku".
Sebaliknya yang "laku" justru yang tidak punya "mutu". Kelompok pembaharu memiliki posisi tawar yang seimbang karena ada hukum alam yang berlaku untuk kesenian. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar